
Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) terpaksa menghentikan sementara proses relokasi pengungsi dari daerah rawan di Chad dan Sudan Selatan ke tempat yang lebih aman akibat kekurangan dana, demikian disampaikan lembaga tersebut, Jumat (18/7).
“Pemangkasan anggaran memaksa UNHCR menghentikan pemindahan para pendatang baru dari wilayah perbatasan ke lokasi yang lebih aman, seperti di Chad dan Sudan Selatan, mengakibatkan ribuan orang kini terdampar di wilayah terpencil,” demikian pernyataan resmi UNHCR.
Sebanyak 75 persen pusat rehabilitasi yang didukung UNHCR untuk perempuan dan anak perempuan, termasuk korban kekerasan seksual, telah ditutup karena keterbatasan anggaran.
Akibatnya, hingga 80.000 perempuan dan anak perempuan pengungsi tidak lagi memiliki akses terhadap layanan kesehatan, dukungan psikologis, bantuan hukum, maupun bantuan material.
Amerika Serikat merupakan penyumbang terbesar untuk anggaran rutin Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan porsi sebesar 22 persen.
Berdasarkan data PBB per Januari, AS seharusnya membayar sebesar 2,8 miliar dolar AS (sekitar Rp45 triliun), terdiri dari 1,5 miliar dolar (sekitar Rp24 triliun) untuk anggaran rutin organisasi dan sisanya untuk operasi penjaga perdamaian serta anggaran pengadilan internasional.
Pada 2 Mei 2025, dalam rancangan anggaran untuk tahun fiskal 2026, Presiden AS Donald Trump mengusulkan penghentian total pendanaan untuk operasi penjaga perdamaian PBB, yang ia anggap tidak efektif dan terlalu membebani AS secara finansial.
Trump juga mengusulkan penghentian sebagian besar kontribusi wajib dan seluruh kontribusi sukarela kepada berbagai lembaga di bawah PBB, termasuk WHO, UNESCO, dan anggaran rutin organisasi tersebut.